Saturday, January 5, 2013



Akar Permasalahan

Pada tahun 1927, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani dan kitab suci Kristian yang berbahasa Yunani.Seruan semacam itu dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia didalamnya, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.
Pada tahun 1834 di Jerman, seorang orientalis bernama Gustav  menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Kemudian datang Theodor  yang berusaha merekonstruksi sejarah al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.
Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi Mushaf Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks al-Qur’an berdasarkan Kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang katanya mengandung varian bacaan dalam mushaf-mushaf tandingan.
Jeffery bermaksud meneruskan upaya Gotthelf dan Otto Pretzl dua orientalis yang pernah bertungkus-lumus mengumpulkan foto lembaran-lembaran manuskrip al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis al-Qur’an tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk sebuah ambisi yang belum lama ini  seorang aktivis Liberal di Indonesia, didorongkan oleh minatnya yang berlebih terhadap qira’at-qira’at lemah lagi menyeleweng, Bergstrasser berupaya mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalawayh.
Bagi para orientalis ini, ‘isnad’ tidak penting  karena itu, riwayat yang ‘shadzdz’ boleh saja dianggap ‘shahih’, yang ‘ahad’ dan ‘gharib’ boleh saja menjadi ‘mutawatir’ dan ‘masyhur’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. mengetepikan yang fundamental dan mengetengahkan yang trivial. Itulah sebabnya mengapa mereka sibuk mengorek-orek isu nasikh-mansukh, isyu adanya surat tambahan versi golongan Syi’ah, isyu “Gharaniq” dan lain sebagainya. Ada pula orientalis yang  ingin merombak susunan ayat dan surah al-Qur’an secara kronologis, mau mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan hadist tidak sebatas mempertanyakan otentisitinya. Isu  yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an. Ada yang berusaha mengungkapkan segala yang boleh dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut, seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristian (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, ),  ada pula yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi,  Walau bagaimanapun, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an, apakah lagi membuat mereka murtad.
Al-Qur’an merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristian, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco-konconya. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin Umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi ‘Isa as.
Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif  dalam dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’ masih lagi diliputi misteri dan ceritera-ceritera bohong dan palsu. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus historikal’ mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah mengenai Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka. mereka tidak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai kepala perampok. Usahanya tersebut diteruskan kemudian oleh  Peters dan belum lama ini diulangi lagi oleh seorang dengan nama samaran “Ibn Warraq.”
Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sesungguhnya hanya menunjukkan kebusukan-hati dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji. Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadis. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristian atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi.
Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk hadis mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadis muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw wafat, bahwa hadis mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadis secara systematis (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat ‛Abbasiyyah. mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadis hanya sedikit saja yang otentik, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth dan para pengikutnya. Para orientalis  missionaris ini ingin supaya Umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw sebagaimana orang Kristian meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.
Kajian keislaman pada mulanya ha­nya­ ditujukan kepada materi-materi keislam­­an secara umum.  mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, sarjana Ba­rat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kela­hi­ran Hongaria dengan karya berjul (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Penelitian hadits diteruskan oleh Joseph yang juga merupakan seorang Yahudi orientalis. Bukunya yang terkenal berjudul The Origins of Muhammaden Jurisprudence. “Keung­gu­lan”­ Schacht ialah kemampuannya dalam membuat kesimpulan bahwa “tidak ada satu ha­dits pun yang otentik dari Rasulullah Saw, khususnya hadits yang bersangkutan dengan hukum Islam.” Namun demikian, Goldziher hanya sekadar meragukan keotentikan hadits nabi.
Kajian dan penelitian mereka terhadap hadits berpijak pada metode yang aneh dan mengherankan. Sebelum melakukan­ penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sendiri, untuk kemudian mencari dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya.Baik Goldziher maupun Schact berpendapat bahwa hadits tidak berasal dari Rasulullah Saw melainkan sesuatu yang la­hir­ pada abad pertama dan kedua hijriah. Dengan kata lain, hadits adalah buatan ula­ma­ abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada zaman Rasulullah Saw.

Permasalahan Tentang Al-Qur’an Dan Hadist
Kitab suci al-Qur’an ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu diingat:
1.      Pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ tetapi merupakan ‘bacaan’ dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun dan pewahyuannya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan atau transmisinya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan Sementara tulisan berfungsi sebagai penunjang semata-mata. Sebabnya karena ayat-ayat al-Qur’an dicatat –yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, berdasarkan hafalan,  dengan isnad secara mutawatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril as kepada Nabi saw dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian sehingga hari ini. Ini berbeda dengan teks Bible, yang tulisan–yakni manuscript evidence dalam bentuk papyrusdan scroll. Orientalis semacam Jeffery, bertolak dari sebuah asumsi keliru, menganggap al-Qur’an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi yang keliru ini mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), hasil rakaman situasi orang Arab abad ke-7 dan 8M. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka konon mau membuat edisi kritis , ingin merestorasi teks al-Qur’an dan bercadang membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menyamakan al-Qur’an dengan Bible telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, Profesor di Universiti Saarbrücken, Jerman: “Bercermin dari [sejarah Kristian], dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kes ini] boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun (yakni, al-Qur’an dan Hadis) .
2.      Pada prinsipnya al Qur’an diterima dan diajarkan melalui hafalan, al-Qur’an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sehingga wafatnya Rasulullah saw, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualiti dan kuantitinya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar di pinggir ataupun di sela-sela antara ayat yang mereka tulis. Baru kemudian, menyusul  jumlah penghafal al-Qur’an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi  pun dilakukan oleh sebuah jawatan-kuasa yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Siddiq sehingga al-Qur’an dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung  dan mutawatir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‛Umar ra sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‛Uthman ra. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah jawatan-kuasa pakar sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawatir yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi Para orientalis yang ingin mengubah-ubah al-Qur’an biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Orientalis juga mengklaim bahwa di sini nampak jelas bagaimana Jeffery tidak mengerti, berpura-pura tak tahu dan sengaja lupa bahwa al-Qur’an tidak sama sejarahnya dengan Bible, bahwa al-Qur’an bukan lahir dari manuskrip.
3.      Faham orientalis mengenai rasm dan qira’at. Tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, al-Qur’an ditulis ‘gondol’, tanpa tanda-baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‛Uthmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Disinilah orientalis semacam Jeffery, Puin dan Luxenberg telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul ini menyebabkan sebagaimana terjadi dalam kes Bible. Mereka juga keliru menyamakan qira’at dengan ‘readings’, padahal qira’at adalah ‘recitation from memory’ dan bukan ‘reading the text’. Mereka tidak faham bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengikuti bacaan yang diriwayatkan dari Nabi saw dan bukan sebaliknya. Orientalis juga salah-faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru mereka, bermacam-macam qira’at jawatan-kuasAbūl karena rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja  membaca sesuka-hatinya. Padahal ragam qira’at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’at yang diterima.

Para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira’at, yaitu:
1.      Diriwayatkan secara mutawātir.
2.      Sesuai dengan rasm mushaf ‛Uthmani atau–lebih tepatnya–sesuai dengan salah satu dari enam masahif ‛Uthmāni yang dikirim ke Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus, Madinah, dan yang disimpan oleh Khalifah ‛Uthmān ra sendiri.
3.      Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab. Di sini, yang dimaksud dengan syarat “sesuai dengan salah satu masahif rasm ‛Uthmani” adalah “sesuai dengan qira’āt yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun tidak pada yang lain.” Contohnya, QS 26:217. Dalam mushaf yang dikirim ke Madinah dan  Damaskus.

Permasalahan Hadits
Hadits adalah buatan ula­ma­ abad pertama dan kedua dan tidak ditulis pada zaman Rasulullah Saw dengan mudah dapat ter­ban­tah­kan. Abdullah Ibnu Umar ialah sahabat Nabi yang paling banyak menulis hadits dibandingkan Abu Hurairah. Abu Hurairah menyatakan bahwa Abdullah Ibnu Umar mencatat apa-apa yang tidak ia catat. Artinya, banyak hal yang masih belum Abu Hurairah catat dibandingkan Ibnu Umar. Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ibnu Umar, “Catatlah dari aku, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah keluar dari mulutku kecuali yang benar saja.”
Tuduhan selanjutnya ialah bahwa para sahabat tidak menghafal hadits. Hal ini juga termasuk dalam kelalaian dan kecerobohan para orientalis dalam melihat sejarah. Mereka tidak tahu bahwa Rasulullah Saw setiap berbicara selalu mengulanginya tiga kali, agar apa yang dikatakan benar-benar diserap oleh para sahabat yang kadar hafalannya tidak sama. Ada yang cepat menghapal dan ada pula yang lamban. Para sahabat seperti ini dikenal sebagai umat yang ummy, tidak bisa membaca dan menulis. Mereka hanya mengandalkan hafalan saja, namun hafalan mereka melebihi orang yang mencatat.
Para orientalis pun seringkali meragukan kredibilitas para rawi hadits dan ula­ma­ hadits. Padahal, terdapat sebuah disiplin il­mu yang dibuat oleh ulama hadits terkemuka seperti Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam kitabnya Jarh Wa Ta’dil. Jarh berarti men­ce­la, sedangkan ta’dil berarti memuji. Jarh­ wa Ta’dil berguna untuk menilai para­ rijal hadits. Dari sini kita dapat mengetahui keadaan masing-masing riwayat hidup para rawi. Dengan ilmu ini juga, hadits Rasulullah dapat terjaga keas­lian­nya. Jarh wa Ta’dil sebenarnya sudah ada dalam al-Quran: “Jika datang seorang fa­siq­ mem­bawa kabar, telitilah!” Selain itu,  il­mu jarh tidak termasuk dalam ghibah.
Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dsebabkan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad saja tanpa kritik matan. Kemudian Goldziher menawarkan metode kritik matan­ saja. Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan, hanya saja apa yang dimaksud dengan kritik matan menurut orientalis berbeda dengan istilah para ulama klasik. Menurut Goldziher, kritik matan hadits mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosial, kultural, dan lain-lain.
Contohnya, Imam Muslim meriwayatkan hadits : “Dikatakan kepada Ibnu Umar: bahwa Abu Hurairah berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, Siapa yang mengiringi jenazah, bagi dia banyak pahala” lalu Ibnu Umar ber­kata, “Kau telah banyak bercerita wahai Abu Hurairah.” Lalu hadits ini dikirim kepa­da Siti Aisyah dan dia membenarkannya. Ketika itu Ibnu Umar berkata, “Telah berlalu dari kami banyak pahala.” Di sini jelas bahwa sahabat Nabi, Ibnu Umar, sangat berhati-hati terhadap apa yang­ telah disampaikan oleh Abu Hurairah kare­na dia takut jika Abu Hurairah salah dan keliru dalam hafalannya. Setelah dibenar­kan oleh Aisyah, maka Ibnu Umar mengetahui bahwa Abu Hurairah benar-benar hafal dan kuat ingatannya.
Dari penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher, ternyata tuduhan itu seringkali ahistoris dan irasional. Beberapa contoh di antaranya adalah sebagai berikut:
Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan ucapan Nabi Saw. Alasannya adalah bah­wa­ hukum syariah tidak dikenal oleh umat Islam pada kurun pertama, sehingga para ulama di abad ketiga banyak yang tidak ta­hu­ tentang sejarah Rasulullah Saw. Dia menukil dari tulisan ad-Darimy, seorang Arab Muslim dalam bukunya Hayat al-Hayawan (Dunia Hewan) bahwa Abu Hani­fah­ tidak mengetahui secara pasti tentang Perang Badar, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya.
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan hal demikian. Padahal­ Abu Hanifah seorang ulama terkenal dan paling banyak berbicara tentang peperangan dalam Islam melalui bukunya. Buku-buku karangan murid-murid Imam Abu Hanifah soal sejarah pun mengisyaratkan keluasan ilmu gurunya tentang sejarah Islam.
Schacht dalam  bukunya The Origin of Muhammadan Jurisprudence berkesimpulan­ bahwa hadits-hadits, terutama yang ber­kaitan dengan hukum  Islam ialah reka­an­ para ulama abad kedua dan ketiga hijri­ah. Dia berkata, “Kita tidak akan menemukan­ satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi­ yang dapat dipertimbangkan kesahihannya.”
Untuk mendukung kesimpulan ini, Schacht mengajukan konsep “proyeksi ke belakang”, yaitu mengaitkan pendapat para­ ahli fiqh abad kedua dan ketiga pada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat ini mendapat legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih mapan. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan pendapat­-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw, sehingga membentuk sanad hadits. Inilah fondasi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik dari Nabi Saw.